Jam menunjukkan pukul 06.00, Tiara pun bergegas untuk mengikuti acara jalan sehat se-Kabupaten. Sebenarnya Tiara malas mengikuti acara semacam ini, tapi mau gimana lagi, sebelum pulang kemarin teman-teman kerjanya sudah wanti-wanti untuk datang acara hari ini.
Setelah satu jam perjalanan, Tiara akhirnya sampai juga ke alun-alun kota. Setelah memarkir motor, Tiara celingukan kanan kiri mencari teman-temannya. Ia keluarkan hp dari sakunya.. wah, sudah bejibun sms dan miscall terabaikkkan.
“Dimana Ra? Sudah nyampe blm?”
Sms dari Tika.
Tiara membalas: “Br nyampe. D dpn msjd. Km dmn?”
Namun, ada satu sms yang menyita perhatiannya, sms dari Rian, teman kuliahnya dulu. Menurut cerita dari teman-temannya, Rian menaruh hati padanya. Meskipun sekarang keadaan agak berbalik. Ketika Tiara mulai menyukainya, Rian justru bersikap semakin dingin bak gunung es.
“Ikut jalan sehat g?”
Reply:
“Iya, ikut...”
Balasan dari Tika pun datang, “Kita ada di depan tulisan start. Gi lht ibu bupati pidato.”
Sambil jalan mencari tulisan yang dimaksud, Tiara membaca sms yang masuk kemudian. Balasan dari Rian. Sejenak terlihat senyum mengembang dibibirnya. Tak pernah terbayangkan jika Rian yang super cool itu akan mengirim sms padanya hari ini. cukup mengherankan dan membuat Tiara berpikir bahwa Rian kehabisan obat cool-nya.
“Km dmn?ak d dpn kant0r bupati,pas d dpn tulisan na”
What? Just that?? Tidak ada kata mengajak bareng, hanya kalimat berisikan letak geografisnya saja. Seberapapun inginnya Tiara bertemu dengan Rian, ia lebih memilih untuk mencari teman kerjanya. Mencari dikerumunan orang yang tak terhitung, berdesak-desakan hingga ia ketinggalan, karena ternyata jalan sehat sudah dimulai dan ia tak berhasil bertemu dengan temannya. Melalui segelintir waktu berjalan sendiri bak orang hilang. Berkali-kali ia menelpon temannya itu tapi tak ada respon. Ia memberanikan diri menekan nomor Rian, dan menelponnya. Sekali, tak ada respon juga. Ia mencoba menelponnya kembali setelah mendapat kupon door prize, dan yah...ia berhasil.
“Mas Rian, km dimana?” tanya Tiara to the point. Rian memang lebih tua dari Tiara, tak heran Tiara memanggilnya dengan embel-embel ‘mas’.
“Aku masih dijalan. Kamu dimana?”, jawab Rian diujung sana.
“Aku udah nyampe pom bensin ni.
“Pom bensin mana? Udah dapet kupon door prize belum?” tanyanya lagi.
“Baru dapet kupon,” jawab Tiara.
“Yawda, tunggu aja disitu.”
Tiara tak ingin lagi berjalan sendiri diantara ratusan orang yang tak ia kenal. Ia pasrah menunggu Rian sambil meluruskan kakinya yang lelah.
Tak lama kemudian Rian terlihat celingukan kanan-kiri mencari-cari sosok Tiara. Tiara tersenyum dan menghampirinya.
“Hei!” sapa Tiara.
“Dah dari tadi?”, sahutnya.
“Lumayanlah.”
“Bawa pen ga?”,tanyanya sambil mengibaskan lembaran kupon yang baru didapat.
“Enggak. Tadi aku pinjem orang.”, Tiara geleng kepala.
Rian kembali mengamati sekelilingnya, mencari korban yang bisa dimintai pinjaman bolpoin. Sejurus, dia melihat seorang temannya dan berhasil meminjam bolpoin, walaupun dengan syarat membagi beberapa kupon yang didapatnya. Sekarang kuponnya tinggal dua, satu ia tulis sendiri dan yang satu diserahkan Tiara. Tiara juga menulis nama Rian, di kupon itu. Lalu mereka pun melanjutkan perjalanan berdampingan.
Pagi itu juga Tiara mendapat kesempatan langka mencari sarapan bersama Rian. Hal lain yang tak pernah terbayangkan dibenaknya. Setelah gagal mendapat sarapan, dan hanya berhasil membeli minum, mereka bersama menghabiskan waktu menunggu undian. Berpindah-pindah mencari tempat yang teduh dan nyaman. Mempunyai lebih banyak waktu untuk bertukar cerita dan bahkan tertawa bersama. Menertawakan kebodohan Rian yang salah memasukkan kupon undian. Rian meminta Tiara memasukkan kupon lain miliknya dan ternyata mereka berdua memasukkan kupon dengan nomor sama. Yang membuat semua semakin terlihat konyol adalah ketika panitia memanggil nama Rian, tetapi nomor kupon yang disebutkan ternyata adalah kupon yang kedua potongannya dimasukkan tadi. Namun, hal indah lainnya adalah ketika mereka sama-sama terjebak dalam hujan.
Hanya lima jam bersama Rian, namun kenangan itu masih membekas bagi Tiara. Tiara masih menyimpan rasa itu, yang ia tahu rasa itu bernama suka. Rasa suka yang tak pernah terungkap. Ia tak pernah tahu apakah Rian juga menyimpan rasa yang sama. Rian yang sikapnya selalu dingin dan terlihat egois karena selalu membuat Tiara memulai terlebih dahulu. Rian yang selalu bisa mengendalikan emosi, sementara Tiara seringkali lepas kendali tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya, senyumnya ketika bertemu dengan Rian meskipun hanya sebentar.
Rasa itu hanya sekedar rasa yang tak terungkap. Minggu telah berganti bulan dan bulan pun berganti tahun. Rian tak pernah mengatakan sepatah katapun tentang perasaanya. Minggu lalu, Tiara memutuskan menerima pinangan orang lain yang datang ke dalam hidupnya. Namun, ia tak pernah mengira jika hari ini Rian kembali datang dan meminta hal yang sama.
Shocking...
Sekali lagi, Tiara dipertemukan dengan Rian dalam sebuah acara. Setelah sebelumnya mereka saling berkirim sms tentang kehadiran masing-masing, mereka bertemu juga.
“Gimana kabarnya, Ra?” tanyanya.
“Well. I’m great” jawab Tiara tersenyum lebar. Tak ada lagi harapan pada Rian.
“Ra, aku pengen ngomong sesuatu sama kamu,” lanjutnya terbata-bata.
“Ngomong aja.”
Rian lalu menyodorkan sebuah kotak. Tiara menerimanya, sambil mengangkat bahu, mata bulatnya semakin terlihat lebar.
“Buka aja,” Rian melanjutkan.
Tiara mengernyitkan dahi. “Cincin??”
Rian mengangguk, “Tolong jangan tertawakan aku, aku memang tidak pintar membuat kata-kata. Tapi intinya, will you marry me?” ucap Rian sambil berlutut dihadapan Tiara.
Tiara tertegun, ia tak tahu harus berkata apa. Tentu saja ia masih menyukai Rian sampai sekarang, tetapi tanggal pernikahan dan detail pernikahannya sudah disiapkan. Minggu depan ia akan menikah. Tak terasa air mata jatuh dipipinya.
“Kenapa?” tanyanya terisak.
Rian berdiri terlihat heran melihat reaksi Tiara. Ia pikir mereka mempunyai perasaan yang sama. Rian bisa merasakannya, ia tak habis pikir kenapa Tiara malah menangis.
“Maaf jika aku...”
Rian belum menyelesaikan kalimatnya, tapi Tiara yang sudah berhasil menguasai dirinya langsung memotong, “Sudahlah, tak ada yang perlu dimaafkan. Aku tidak bisa menerima cincin ini.” Cincin itu dikembalikan kepada Rian.
“Tapi kenapa? Ku pikir kita mempunyai perasaan yang sama.”
“It’s too late. Kamu tahu? Memang kita memiliki perasaan yang sama, tapi untuk apa cinta itu sekarang jika minggu depan aku menikah.”
Rian tertunduk, kini ia tahu ia terlambat.
“Minggu depan?”
“Iya, minggu depan,” ulang Tiara memperjelas.
“Kamu bilang kita punya perasaan yang sama. Tak bisakah...” ia menggantung kata-katanya. Tanpa ia teruskan pun, Tiara tahu yang ia maksud.
“Mungkin perasaanku padanya tidak sebesar perasaanku padamu. Tapi dia mencintaiku, dan kami akan menikah, aku takkan melakukan apapun untuk menghancurkan semuanya,” ujar Tiara masih terisak.
“Apakah cintanya sebesar cintaku padamu? Aku juga akan menikahimu jika kau menerima pinanganku. Paling tidak, kita masih punya banyak waktu untuk merubah nasib, mempersatukan cinta kita. Dan...dan kita bisa hidup bahagia selamanya, Ra!” teriak Rian berusaha meyakinkan Tiara.
Tiara terdiam, bila ingin berpihak pada perasaannya, Rian-lah yang memenangkannya. Namun jika ia berpihak pada akalnya, ia tak mungkin melakukan hal yang bisa mengecewakan orang-orang disekitarnya.
Tiara menggeleng, “Kau pikir ini film India, yang ketika acara pernikahan sedang digelar kau bisa membawa pengantin wanitanya lari?!” Tiara berlalu, ia tak bisa lebih lama lagi tinggal disitu.
Seharusnya Tiara bahagia karena ternyata mereka menyimpan rasa yang sama, tetapi semua sudah terlambat. There’s no way to come back. Everything is set. Tak peduli seberapapun besar cintanya pada Rian, Tiara tak mau meluluh-lantakkan pernikahannya sendiri, yang mungkin berarti akan menghancurkan hidupnya, menyakiti hati calon suaminya, juga orang-orang disekitarnya.
Comments
Post a Comment