Seringkali
saya mendengar pembicaraan miring tentang penerimaan CPNS, terutama
yang berkenaan dengan uang. Ketika saya pertama kali ditempatkan di
SD saya, Pak Pengawas pun menanyakan pada saya berapa jumlah yang
saya bayar dan kepada siapa saya membayar kok bisa diterima menjadi
CPNS waktu itu. Pasalnya anak beliau yang pintar pun berkali-kali
mengikuti ujian dan masih belum lolos juga.
Saya
yang berasal dari luar daerah, tentu saja tidak tahu-menahu tentang
isu semacam ini. Jangankan membayar puluhan juta, uang tiada dan
kenalanpun orang penting pun tidak punya. Maaf saja, bukannya
sombong, tetapi alhamdulillah sepanjang hidup saya, Allah tidak
pernah membiarkan saya menggunakan uang atau pengaruh orang penting
untuk mendapatkan sesuatu, termasuk dalam hal mendapatkan pekerjaan.
Saya mempercayai bahwa diantara cara-cara kotor, pasti masih ada
jalan baik dan mulia di luaran sana.
Bukan
hanya saya, saya yakin puluhan teman seangkatan saya pun lolos dengan
cara yang baik. Saya bertemu dengan beberapa orang ketika Prajab, dan
dari kualitas mereka saya yakin mereka jujur. Sebagai contoh dari 19
formasi guru bahasa Inggris SD, 7 diantaranya adalah orang luar kota.
Menurut saya, orang luar kota, memiliki sedikit kemungkinan membayar
guna diterima di luar daerahnya sendiri.
Meskipun
mungkin memang ada yang membayar, tetapi saya lebih memilih untuk
berpikir positif. Diantara yang membayar, pasti ada orang-orang yang
murni lolos karena tes.
Kalau
boleh saya memberi saran, untuk orang-orang yang masih berpikir
bahwa dia akan lolos CPNS jika membayar/ kenal orang penting untuk
berhenti berpikir demikian. Peribahasa mengatakan, “You are what
you think”. Segala sesuatu seringkali berasal dari pikiran kita.
Karena kita sudah berpikiran negatif, maka yang ada di dalam pikiran
kitalah yang terjadi. Jika memang menjadi PNS sudah menjadi impian
karirnya, hal pertama yang harus dilakukan adalah percaya bahwa masih
ada jalan baik diantara jalan-jalan kotor yang membentang di depan
mata. Percayalah bahwa Allah akan selalu ada untuk kita.
Comments
Post a Comment