Viko telah menyiapkan semuanya untuk hari valentine besok. Buku, bunga, coklat dan kartu ucapan. Tinggal tunggu waktu untuk dikasihkan ke bu Fia, gurunya tercinta. Diam-diam Viko menyimpan rasa cinta yang mendalam kepada gurunya, tak bolehkan? Tak wajarkah? Terlarangkah mencintai guru sendiri? Berulang kali ia mencoba berdialog dengan sahabat dan hatinya tentang rasa cintanya yang tergolong ‘aneh’. Murid mencintai guru pastilah dianggap tabu, apalagi oleh orang-orang disekitar situ, namun apa daya ia tak tahan lagi memendam rasa yang telah ia simpan tiga tahun terakhir ini. Lagipula, sekarang mereka bukan lagi guru dan murid, ia sudah kuliah dan bekerja, begitu pikirnya. Ia sebenarnya sudah mencoba berpaling ke lain hati, tapi tak bisa. Ia menunggu waktu sampai gurunya itu dipersunting orang, tapi sampai sekarang gurunya itu masih single dan tak terdengar kabar kedekatannya dengan seorang laki-laki pun. Jadi, inilah saatnya untuk maju sebagai lelaki sejati, bukan hanya sebagai seorang murid.
Ia masih ingat betapa nakalnya ia dan teman-temannya. Namun, bu Fia yang waktu itu adalah wali kelasnya selalu ada untuk mereka. Ia selalu sabar menghadapi kenakalan mereka, pun ketika harus berhadapan dengan kemampuan mereka yang setingkat bakteri dalam menyerap pelajaran. Dengan sabar ia membimbing dan mengajari mereka. Bukan hanya itu, Bu Fia juga sering menceritakan kisah-kisah inspiratif yang membawa semangat. Viko juga masih menyimpan file foto dan video yang diambilnya diam-diam ketika guru mungilnya mengajar. Bahkan, sampai sekarang salah satu foto itu ia jadikan wall paper di Hpnya.
Tibalah hari yang mendebarkan bagi Viko...
Hari itu ia membolos demi bertemu dengan Bu Fia. Siapa akan melarang orang berkasih sayang di hari kasih sayang? Kalaupun ia mendapat penolakan, ia sudah lega karena telah menyatakan cinta.
Ba’da sholat ashar Viko berdandan rapi lalu meluncur ke rumah Bu Fia. Sesampainya disana, Viko agak kaget karena rumahnya ramai. Viko mengamati dari kejauhan, mengernyitkan dahi.
“Bu, rumah Bu Fia kok ramai, ada apa ya?” tanya Viko ke seorang ibu yang lewat di depannya.
“Katanya sih, sedang lamaran,” jawabnya sambil lalu.
Bunga-bunga hatinya yang tadi bermekaran kini layu. Kabar itu terdengar bagai petir ditelinganya. Kado yang ia pegang terjatuh. Susah payah ia mengumpulkan keberanian menyiapkan mental, dan bahkan membolos kerja, tapi ternyata belum sempat perasaan ia ungkapkan, ia harus menelan pil pahit itu.
“Eh, mas..minggir mas. Ngalangin jalan nih!” seru sekelompok orang yang membawa macam-macam barang lamaran.
Viko tersadar dari lamunannya, “I-iya pak, maaf. Oh ya pak, tolong saya titip kado ini sekalian ya. Terimakasih,” jawab Viko sembari mengambil dan menyerahkan kado yang tadi terlepas dari genggamannya.
Ia berlalu, tak seharusnya ia masih berada disitu. Tak seharusnya pula ia mengikuti nafsu untuk menyatakan cinta yang menggebu kepada gurunya itu. Apalagi, dengan alasan valentine. Terngiang ditelinganya kata-kata Bu Fia ketika satu kelas kompak membolos untuk merayakan valentine.
“Apa kalian tahu sejarah valentine itu? Valentine itu seluruhnya tidak lain bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala dan penghormatan pada pastor. Bahkan tak ada kaitannya dengan ’kasih sayang’. Jangan sampai kita orang Islam terkena penyakit ikut-ikutan mengekor budaya Barat dan acara ritual agama lain.”
Comments
Post a Comment