Menjadi Dewasa dan Dipaksa Menjadi Dewasa


Konon, menjadi tua itu sebuah kepastian tetapi menjadi dewasa itu lain urusan. Kedewasaan tidak berjalan seiring dengan bertambahnya usia. Terkadang ada orang yang berusia muda tetapi cukup dewasa, sebaliknya ada pula orang yang sudah tua tapi kelakuannya masih seperti anak kecil (maybe like me:D).

Tiba-tiba saya ingin membicarakan masalah kedewasaan dan dipaksa menjadi dewasa karena melihat teman SD saya yang sekarang ini sudah memiliki dua anak. Teman-teman SD yang termasuk dalam golongan ‘laku kilat’ yang mana mereka menikah setelah lulus SD persis. Rata-rata mereka sudah memiliki dua anak, anak pertamanya duduk di kelas 4 bareng si kembar. Lain lagi dengan teman-teman yang menikah setelah lulus SMP, anak-anak mereka mungkin masih duduk di bangku TK, kelas 1 atau 2 SD. Terus terang memori saya agak terganggu ketika mengingat teman SMP yang begitu dapat ijazah langsung dapat ijabsah, karena teman-teman saya yang satu kampung rata-rata istirahat sebelum akhirnya menikah dan memiliki anak, jadi anak mereka masih kecil, belum sekolah. Sedangkan teman-teman yang menikah setelah lulus SMA diperkirakan usianya sekitar 7 tahunan, since I graduated from senior high at 2004. Brati kan 2011 – 2004 = 7. Kalau teman-teman yang menikah setelah lulus kuliah, anak mereka paling baru berusia 1 atau dua tahun-lah.

Berkeluarga: menikah dan mempunyai anak merupakan salah satu keadaan yang memaksa seseorang untuk menjadi dewasa. Tidak peduli berapapun usia mereka, baik baru lulus SD (13 tahun minimalnya), lulus SMP (16 tahun minimalnya), lulus SMA (19 tahun minimalnya), atau lulus kuliah (23tahunan lah), ketika mereka sudah diberi tanggung jawab mengurus keluarga mau tidak mau, suka tidak suka mereka akan menjadi dewasa. Keadaan dan tanggung jawab ‘memaksa’ mereka menjadi dewasa.
Sedangkan seberapa pun tuanya seseorang, dia memiliki kesempatan untuk bertindak kekanak-kanakan karena keadaan tidak ‘memaksa’ mereka menjadi dewasa. Saya bilang, orang-orang ini ‘memiliki kesempatan untuk bertindak kekanak-kanakan’, jadi tergantung orangnya apakah mereka akan menggunakan kesempatan ini atau tidak. *Saya lebih memilih menggunakan kesempatan ini, J. Sebagaimana pepatah mengatakan, gunakanlah enam kesempatan sebelum enam kesempitan: sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit, hidup sebelum mati dan single sebelum double atau triple :p.

Ketika menoleh teman-teman saya yang sudah berkeluarga, terutama yang sudah menikah sejak lulus SD, saya melihat kedewasaan mereka. Saya mengagumi mereka. Mereka luar biasa. Bagaimana mereka bergelut dengan susahnya zaman, mengurusi suami dan anak-anaknya sekaligus memenuhi kebutuhan ekonominya-lah yang membuat saya kagum. Mereka yang sebaya dengan saya, sudah akan membangun rumah, mampu mengurus suami dan anak-anaknya dan lain sebagainya. Sedangkan saya, dengan usia yang sama masih dengan sikap kekanak-kanakan dan labil ini.

Bahkan, saya melihat perbedaan yang cukup mencolok pada teman-teman yang semasa kuliah bisa dikatakan suka foya-foya, have fun menikmati hidup seolah hidup itu hanya untuk main-main saja tanpa berpikir akan masa depannya. Dengan menikah, persepsi mereka akan hidup berubah. Mereka terlihat lebih dewasa ketimbang saya yang dulu semasa kuliah bisa dikatakan ‘serius’ dan lebih dewasa ketimbang mereka. Jadi, terjadi pergeseran kedewasaan disini: mereka menjadi lebih dewasa ketimbang saya, dan saya menjadi lebih kekanak-kanakan ketimbang mereka yang dulu kekanak-kanakan.
Sekali lagi, keadaan bisa memaksa seseorang menjadi dewasa.


 ·  · Share · Delete

Comments