Seruan Kejujuran Beni


Malam itu Beni tak bisa tidur. Matanya tak mau terpejam. Ia masih terbayang-bayang pertemuan sore tadi. Beni merasa tawaran orang-orang itu berlawanan dengan hati nuraninya tetapi ia ingin lulus, ia juga takut jika harus berseberangan dengan golongan kiri di sekolahnya. Mereka terlalu kuat. Golongan kiri, begitu ia menyebut teman-temannya yang suka colo alias bolos pelajaran dan berulah di sekolah.
“Kalian ingin lulus kan? Kami hanya ingin membantu kalian mencapai tujuan kelulusan itu,” begitu ujar salah seorang dari mereka. Mereka ada dua orang, seorang laki-laki dan perempuan, yang laki-laki tak ia kenal. Tetapi yang perempuan adalah gurunya ketika di kelas XI. Yang datang di pertemuan itu juga hanya beberapa perwakilan saja, 9 orang dari kelas otomotif dan 3 orang dari kelasnya, kelas audio-video.


“Biayanya juga cukup ringan, hanya Rp. 6.000.000,00. Kalian bisa mendapatkan 75% kunci jawaban untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris”, lanjut si perempuan.
Anak-anak yang hadir sedikit ramai mendengar uang yang harus mereka keluarkan. Jumlah itu cukup besar untuk mereka. Namun sepertinya si empunya ide sudah memberikan pula jalan keluar, “Biaya ini tidaklah banyak jika kalian berbagi dengan teman-teman satu sekolah. Ada 120 anak di sekolah ini. Jika jumlah tersebut dibagi, paling setiap anak hanya membayar sekitar Rp. 25.000,00 per mata pelajaran.”
Mereka bernafas lega mendengar hal ini.
“Bagaimana kami bisa tahu kalau kunci yang diberikan itu asli?” Tanya salah seorang dari mereka.
“Saya berani menjamin bahwa kunci yang kami jual asli. Jika ada diantara kalian tidak lulus, uang kami kembalikan”, kata laki-laki itu.
“Lagipula kalian mengenal saya kan?” terus yang perempuan.
Tak selang berapa lama, separuh lebih dari perwakilan yang datang mencapai kata sepakat untuk mengumpulkan dana demi membeli kunci jawaban UN. Meskipun demikian, Beni hanya diam, tidak menolak ataupun mengiyakan. Ia masih ragu.
###
Keesokan hari Beni berdiskusi dengan teman-teman sekelasnya. Kebanyakan mereka menolak, tapi tak sedikit yang langsung berteriak antusias bahkan sudah menyiapkan uangnya. Yang setuju, memang anak-anak yang jarang masuk pelajaran. Mereka ingin lulus dengan jalan pintas.
“Hanya mengeluarkan sedikit uang, tanpa belajar sedikitpun kita bisa dijamin kelulusannya. Mengapa harus menolak?” seru Iwan, si jago molor. Ia dijuluki si jago molor karena kerjaannya di kelas hanya tidur.
“Iya, bener kata Iwan. Hidup ini sudah susah ngapain dibikin susah!” dukung Adi, si jago alpa. Dijuluki demikian karena paling hobi bolos.
Namun, Hamdan, yang dipanggil Pak Ustad oleh teman-temannya menyanggah, “Apa guna kemudahan di dunia jika kelak di akhiran kita harus menanggung dosa. Lebih susah-lah kita disiksa dalam nerakaNya.”
Iwan dan kawan-kawannya hanya mencibir, “Mikir ga sah kejauhan. Yang penting itu kita lulus. Kalau kita tidak lulus, tamatlah riwayat kita, mau meneruskan sekolah tidak bisa, bekerja apalagi. Kita harus mengulang. Kalian mau?!”
Kebanyakan mereka menggelengkan kepala. Tak seorang pun mampu membayangkan dirinya tidak lulus UN dan harus mengulang, menunda mimpi-mimpi mereka.
“Aku setuju dengan pendapat Iwan, Ben. Aku mau lulus. Tak bisa kubayangkan bagaimana sedihnya orangtuaku jika aku tidak lulus”, ucap Eka tertunduk.
Hal yang membuat ketidaklulusan itu lebih berat adalah orang tua. Tidak heran jika kata-kata Eka ini didukung oleh teman-temannya.
“Kalau aku bodoh sekali Ben, otakku ini sepertinya sudah tumpul. Jadi, aku setuju-setuju saja jika kita membeli kunci jawaban. Uang bisa dicari yang penting aku lulus”, Dodi yang merasa kemampuan akademiknya jauh dari standar kelulusan yang ditentukan pemerintah itu pun mendukung kubu Iwan.
“Bagaimana kalau ternyata kita ditipu. Bukankah Bu Syafa pernah mengingatkan kita?” Imah mencoba bijak.
Sejenak mereka mengingat peringatan Bu Syafa, gurunya. Beliau mengingatkan banyak hal, tidak hanya tentang kemungkinan kunci palsu. Tapi juga tentang nilai kejujuran dan pengukuran kemampuan diri.
“Aku ingat, hampir setiap kali masuk kelas Bu Syafa mengingatkan kita untuk lulus dengan jalan yang baik. Bukan hanya nilai yang baik,” kenang Ikhsan.
Teman-temannya terdiam.
“Lulus, itu keharusan bagi kita. Kita sudah belajar semaksimal mungkin. Lagipula, bukankah kita sudah tahu materi apa saja yang akan keluar ketika ujian nanti? Aku yakin kita pasti bisa lulus tanpa harus mengandalkan kunci jawaban yang entah berasal darimana”, Ilman pun angkat bicara.
Tak lama, Beni menengahi pertengkaran dua kubu ini. “Baiklah, sekarang kita voting saja. Siapa yang setuju kita beli kunci jawaban, angkat tangan!”
Terlihat hanya enam orang dari total 25 anak yang mengacungkan jari.
“Berati yang lain ku anggap tidak setuju membeli kunci jawaban. Kesimpulannya, kelas kita tidak akan membeli kunci jawaban!” Lanjut Beni.
“Brakkk!!!!” Adi menggebrak meja.
“Dasar sok!” Teriak Iwan.
Keduanya meninggalkan kelas sambil mengumpat. Dodi dan Eka yang sebenarnya setuju dengan pendapat Iwan masih tinggal di kelas. Mereka memilih menggunakan cara halus.
“Ben, mending kita tetep beli kunci saja. Kalian enak karena pintar, kalau anak yang bodoh sepertiku ini bagaimana nasibnya?” rengek Dodi.
“Dod, tidak ada orang bodoh di dunia ini. Yang ada hanya orang yang tidak mau belajar!” Seru Ilman sedikit jengkel dengan sikap pesimis Dodi.
“Lihat aku, Ikhsan dan beberapa teman yang lain disini. Kami pun bukan anak-anak yang selalu mendapat ranking satu. Kami anak yang kemampuannya biasa-biasa saja, tetapi kami memiliki keyakinan. Kita pasti bisa lulus asalkan kita belajar dengan baik dan berdo’a memohon kepada Allah!”
“Kita ini punya Allah yang selalu ada disisi kita. Apalagi langkah kita adalah langkah yang baik, setiap langkah yang baik pasti akan didukungNya. Yakinlah, Allah tidak tidur, Allah Maha Tahu, Allah Yang Maha Mengabulkan do’a. Kita pasti lulus!” Hamdan pun mencoba meyakinkan mereka yang masih ragu.
“Terimakasih teman-teman. Kalian telah menguatkanku bahwa membeli kunci jawaban bukanlah hal yang benar, walaupun tujuan kita benar. Seperti kata Bu Syafa, hal yang baik akan tetap salah jika dilakukan dengan cara yang salah. Terimakasih juga atas dukungannya untuk melakukan sesuatu yang jujur dan benar!” ucap Beni kepada teman-temannya. Mereka tersenyum menatap Beni.
“Sekarang tugas kita adalah mengkampanyekan penolakan pembelian kunci jawaban secara luas Ben,” usul Ilman.
“Iya Ben, Ilman benar. Di pertemuan selanjutnya kita harus tegas menolak, tidak hanya diam seperti kemarin,” dukung Ikhsan yang kebetulan kemarin diajak Beni dalam pertemuan rahasia itu.
Masih ada waktu dua hari bagi Beni dan teman-temannya melakukan lobi dan mencari dukungan dari teman-teman kelas lain. Mereka bergerak cepat. Siang itu juga mereka mencoba berbicara dengan teman-teman yang kooperatif. Ternyata kebanyakan dari mereka memiliki satu persepsi yakni tidak setuju membeli kunci jawaban. Ada juga anak yang sebenarnya merasa keberatan, tetapi menurut saja karena takut akan ancaman golongan kiri dan takut tidak lulus. Maklum, anak-anak ini merasa kemampuan akademiknya rendah seperti Dodi.
Sayangnya, gerakan Beni ini tercium oleh golongan kiri.
“Ben, sini!” panggil Hari, sang ketua.
Teman-teman Beni mengikuti dibelakangnya. Menjaga-jaga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
“Maksudmu apa memprovokatori teman-teman untuk tidak membeli kunci jawaban?!” teriak Hari, si ketua gank.
“Aku tidak memprovokatori mereka, aku menanyakan baik-baik pada mereka apakah mereka mau ikut membeli kunci atau tidak,” Beni mengelak.
Kenyataannya memang Beni tidak memprovokatori atau mempengaruhi, kebanyakan bertindak karena hati nurani.
“Heh, Kamu tidak usah berulah! Hanya dengan kunci jawaban inilah kita akan lulus ujian nasional,” ia berkata sembari menudingkan tangan ke wajah Beni. Beni tetap berusaha tenang. Ia ada di pihak yang benar, ia tidak perlu merasa takut atau khawatir.
“Tanpa kunci jawaban itu pun kita akan lulus ujian nasional!” teriak Beni tegas.
“Bug!” Hari melayangkan tinjunya ke perut Beni.
Teman-temannya mendekat dan melerai keduanya.
###
            Seperti biasanya, setiap malam Minggu sekolah mengadakan do’a bersama. Dalam acara itu, Beni selaku mantan ketua OSIS diberikan waktu untuk sekedar memberikan pesan dan kesan sebelum menghadapi ujian esok Senin.
            “Mungkin kita berasal dari sekolah pinggiran, sekolah yang katanya terdiri dari anak-anak buangan. Tapi kali ini, kita harus menunjukkan bahwa kita beda! Tunjukkan kepada mereka bahwa kita anak-anak yang jujur, yang akan lulus dengan usaha sendiri, sehingga ijazah yang kita dapatkan nanti adalah ijazah yang halal, didapatkan dengan kejujuran. Bukan ijazah yang didapatkan karena kecurangan. Dengan ijazah inilah kita akan melangkahkan kaki, baik untuk melanjutkan kuliah lagi ataupun melamar pekerjaan. Oleh karena itu, penting bagi kita mendapatkannya dengan jalan yang baik, karena dengan begitu langkah kita akan mendapat keberkahan. Jika kuliah, kuliah kita akan berkah, ilmu yang kita dapatkan akan berrmanfaat. Jika bekerja, uang yang kita hasilkan pun adalah uang yang halal dan berkah karena ijazah kita juga halal. Begitu pula sebaliknya. Aku yakin, Allah tidak tidur, Allah akan selalu berada disisi kita karena kita berada di jalan yang benar. Percayalah bahwa tanpa bocoran, tanpa kunci jawaban belian pun kita akan lulus!”
###
Tiba saatnya pengumuman...
            Setelah menunggu harap-harap cemas, akhirnya tiba saatnya menerima pengumuman hasil UN. Terdengar gegap gempita kebahagiaan Beni dan teman-temannya. Mereka lulus 100%. Lulus dengan nilai yang baik dan cara yang baik pula. Mereka berhasil menunjukkan bahwa meskipun mereka anak-anak yang terpinggirkan tapi mereka memiliki keunggulan yakni kejujuran.
            Sementara Hari dan teman-temannya di golongan kiri hanya bisa tertunduk lemas. Mereka entah dengan cara apa berhasil mengumpulkan dana untuk membeli kunci jawaban, sayangnya ternyata terjadi kesalahan sehingga nilai mereka hancur berantakan.

Cerpen ini diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen dengan tokoh pelajar SMP/ SMA yang diadakan oleh Uda Agus..
masuk 60 besar tapi karena agak wagu jadi ga masuk 15 besar deyh..hehe :D

Comments