Catatan Guru Galau: Salahkah Aku Bila Berharap?

Saat medsos menjamur seperti saat ini, banyak orang mengutip kata-kata mutiara dari orang besar di timeline atau di DP BBM nya. Contohnya saja salah satu nasehat di bawah ini:
“Jadi guru itu tidak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti

kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak
pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang Penting niat menyampaikan
ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi
pintar atau tidak, serahkan kepada Allah. Didoakan saja terus
menerus agar muridnya mendapat hidayah.”

Saya setuju dan ingin menjadi guru yang seperti itu. Namun, saya ini hanya guru biasa, yang masih sering galau seperti murid-muridnya, guru yang masih terjebak dalam sistem penilaian sebagai standar kelulusan dan tetek bengeknya. Maka beginilah jawaban saya kepada siswa-siswa yang mungkin menjadikan nasehat ini dalih untuk kemalasannya.

Niat bikin orang pintar? Sebenarnya tidak juga. 
Niat menyampaikan ilmu? Tentu saja.
Menyerahkan semua kepada Allah? Saya berharap saya sepercaya diri itu, selepas itu.
Mendoakan agar mendapat hidayah? Di setiap do'a.

Apakah salah jika seorang guru berharap agar semua siswanya pintar? Apakah salah jika seorang guru berharap siswanya dapat menguasai kompetensi yang diajarkan? Apakah salah jika seorang guru marah karena motivasi belajar siswanya rendah? (*mungkin iya) Apakah salah jika kami berharap? Tak bolehkah kami memiliki sedikit harapan akan siswa kami?

Do you know how does it feel? Seperti di tusuk jarum di atas dan di bawah tubuh kita. Di satu sisi, gurulah yang akan disalahkan saat nilai siswanya rendah, terlebih saat UN. Di sisi lain, siswa kami menggugat dengan menggunakan kata-kata ini. Serba salah...


Comments

  1. Berharap boleh, Bu, tapi kalau mengharuskan semua murid pintar ya tidak masuk akal. Heheheh. Semangat ya :)

    ReplyDelete
  2. Begitu ya..pengennya kan yg namanya belajar ada perubahan dari tidak bisa menjadi bisa

    ReplyDelete

Post a Comment