Full Day School dari Sudut Pandang 'Egois' Seorang Ibu yang Juga Guru

Agak terlambat memang postingan dengan tema FDS yang ramai beberapa minggu lalu. Tapi lebih baik terlambat dari pada tidak menulis sama sekali. 

Jadi kesotoyan saya sebagai ibu sekaligus guru membuat saya dengan lantang mengatakan TIDAK pada kebijakan FDS. Mungkin Pak Menteri melupakan bahwa kebanyakan guru itu adalah perempuan. Saat orang lain menitipkan anaknya ke sekolah, kemanakah para ibu guru menitipkan anaknya sendiri? Mungkin jawabannya, ke sekolah guru lain, atau ke TPA. Dengan adanya FDS, kami, para ibu guru berkurang waktu bersama anak dan keluarga. 

Saya memiliki alternatif jitu untuk mengatasi permasalahan tentang moral, karakter dan kenakalan remaja. Mengacu pada konsep islam, semua tugas sudah dibagi secara adil dan merata tentang hak dan kewajiban istri dan suami. Permasalahannya adalah, adanya pergeseran peran dimana banyak ibu tidak lagi full menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya, termasuk saya sendiri. Madrasah itu kini berpindah, tak lagi di tangan seorang ibu, tapi ke seorang ART, nenek atau guru. Islam memang tidak melarang seorang ibu untuk bekerja, dan saya sendiri juga seorang ibu bekerja. Namun, saya tetap berada pada pandangan bahwa sudah selayaknya ibu dikembalikan ke 'khittahnya', bukan mencari nafkah tetapi menjadi madrasah bagi anak-anaknya. 

Jika memang karena satu atau beberapa hal seorang ibu harus bekerja, maka negaralah yang harus membuat peraturan yang ramah bagi ibu bekerja. Misalnya, cuti melahirkan yang lebih panjang untuk memungkinkan seorang bayi mendapatkan ASI Eksklusif serta jam kerja dan beban kerja yang lebih ringan. (Seperti modus, tapi ini seius)

Jadi begitu, alih-alih menerapkan FDS, mending kembalikan ibu pada khittahnya.

Comments