Ayahku Idolaku Part II

Di malam yang hening dan sejuk ini, kembali ku teringat pada sosoknya, ayah. Ayahku, seorang yang senang belajar. Mungkin kesenanganku pada tantangan dan belajar (ehem..) diturunkan darinya. Waktu aku masih kecil, ayah sering membawakan majalah yang di dapat dari sekolah. Jaman itu, majalah Ceria dan Bobo menjadi lahapanku sehari-hari. FYI, aku sudah bisa membaca sejak usia belia. Jika mungkin suami membanggakan dirinya saat TK sudah bisa membaca koran dan sempat diundang Bupati/ DPR di waktu itu, aku juga sama brilliannya. Hayah...

Dan ayahlah yang mengajariku membaca. Karena itu pula, aku tidak mau sekolah di TK. Terlalu membosankan karena isinya hanya bermain saja. Aku sempat sekolah TK, hanya seminggu. Selanjutnya, aku ikut ‘ngintil’ di SD. Namun karena dianggap mampu mengikuti pelajaran, aku pun akhirnya didaftarkan dan dinaikkan kelas. Itu kejayaan masa lalu, sekarang mah gak jaminan lagi karena sudah tua. Maaf ki sanak, ini sekedar intermezo.

Intinya, aku menuruni kesenangan pada buku, belajar dan hal baru dari nya.

Ayah, mengalami perjuangan luar biasa untuk sekolah. Baik dari SD ke PGA 4 tahun atau PGA 6 tahun. Dia harus bergelut dengan kondisi ekonomi yang sebenarnya tak memungkinkan sejak simbah meninggal. Namun, dia tak patah arang. Dia terus semangat hingga berhasil lulus ujian menjadi guru agama. Perjuangannya tak berhenti sampai disitu. Ayah kemudian melanjutkan D2 dan S1. Ayah adalah sarjana kedua di desaku, tempat pertama diduduki oleh keponakannya. Di tingkat kecamatan, ayah dan satu rekannya juga menjadi guru pertama yang melanjutkan study ke S1. Aku ingat betul, ayah wisuda di tanggal 9 September 1999 yang diisukan menjadi kiamat itu. Saat itu aku masih kelas 2 MTs dan ikut hadir dalam acara wisudanya. Pada jaman itu, melanjutkan study bagi guru yang bergaji minim adalah hal yang langka. Kebanyakan guru SD masih lulusan SPG/PGA. Bahkan, saat aku menjadi guru tahun 2010 pun, masih ku temukan guru yang berpendidikan SPG/PGA. Berkah dibaliknya adalah saat pemerintah memulai program sertifikasi, ayah termasuk yang pertama mendapatkan hak sertifikasi melalui jalur portofolio. Waktu itu, aku masih kuliah. It’s like blessing in disguise.

Kecintaannya pada buku, dapat dilihat dari koleksi buku yang ada di rumah kami. Ayah juga selalu menyempatkan membaca di waktu luangnya. Ayah sering berlangganan majalah dan koran. Buku koleksinya beragam, dari masalah pendidikan, kesehatan, agama, sampai masalah mistis. Ini juga yang diturunkannya padaku, selain wajahku yang kata orang sangat mirip dengannya.

Sepertinya, aku pun menyukai tantangan. Tantangan untuk mencoba hal baru, salah satunya adalah teknologi. Teknologi komunikasi dan informatika seperti handphone dan computer. Ayah selalu berpikiran lebih maju. Meskipun dia tidak memiliki banyak kenalan untuk dihubungi melalui HP, dia membeli HP. Padahal, saat itu sinyal pun masih langka. Ayah harus memasang antenna untuk mendapatkan sinyal. Haha..kalau diingat lucu sekali.

Ketika aku lulus dari MAN dan melanjutkan kuliah, ayah mengambil keputusan yang cukup berani, yakni membeli komputer dengan cara kredit ke guruku MAN. Harganya sekitar 4 juta. Bagi keluarga kami, uang itu cukup banyak. Bisa untuk membayar semesteranku beberapa kali. Meskipun sekarang, uang 4 juta tidak seberapa. Sesudah membeli komputer tentunya ayah belajar menggunakannya. Usianya sudah tidak muda lagi saat mulai menyentuh komputer. Dengan rajin dicatatnya fungsi-fungsi masing-masing tombol di komputer, cara menyimpan dan membuka dokumen, sampai cara mematikan komputer. Meskipun seiring berjalannya waktu, banyaknya tuntutan guru dan ulah anak-anaknya, ayah tak lagi sempat belajar. 

Yeah.. that’s my father and how he liked learning, and challenging thing so much. I wish you could hear me saying I love you, there. Thanks for this gene, Pak. I did wish to find someone as good as you. 

Comments