Di malam yang hening dan sejuk ini, kembali ku
teringat pada sosoknya, ayah. Ayahku, seorang yang senang belajar. Mungkin
kesenanganku pada tantangan dan belajar (ehem..) diturunkan darinya. Waktu aku
masih kecil, ayah sering membawakan majalah yang di dapat dari sekolah. Jaman
itu, majalah Ceria dan Bobo menjadi lahapanku sehari-hari. FYI, aku sudah bisa
membaca sejak usia belia. Jika mungkin suami membanggakan dirinya saat TK
sudah bisa membaca koran dan sempat diundang Bupati/ DPR di waktu itu, aku juga
sama brilliannya. Hayah...
Dan ayahlah yang mengajariku membaca. Karena itu pula,
aku tidak mau sekolah di TK. Terlalu membosankan karena isinya hanya bermain
saja. Aku sempat sekolah TK, hanya seminggu. Selanjutnya, aku ikut ‘ngintil’ di
SD. Namun karena dianggap mampu mengikuti pelajaran, aku pun akhirnya
didaftarkan dan dinaikkan kelas. Itu kejayaan masa lalu, sekarang mah gak
jaminan lagi karena sudah tua. Maaf ki sanak, ini sekedar intermezo.
Intinya, aku menuruni kesenangan pada buku, belajar
dan hal baru dari nya.
Ayah, mengalami perjuangan luar biasa untuk sekolah.
Baik dari SD ke PGA 4 tahun atau PGA 6 tahun. Dia harus bergelut dengan kondisi
ekonomi yang sebenarnya tak memungkinkan sejak simbah meninggal. Namun, dia tak
patah arang. Dia terus semangat hingga berhasil lulus ujian menjadi guru agama.
Perjuangannya tak berhenti sampai disitu. Ayah kemudian melanjutkan D2 dan S1.
Ayah adalah sarjana kedua di desaku, tempat pertama diduduki oleh keponakannya.
Di tingkat kecamatan, ayah dan satu rekannya juga menjadi guru pertama yang
melanjutkan study ke S1. Aku ingat betul, ayah wisuda di tanggal 9 September
1999 yang diisukan menjadi kiamat itu. Saat itu aku masih kelas 2 MTs dan ikut
hadir dalam acara wisudanya. Pada jaman itu, melanjutkan study bagi guru yang
bergaji minim adalah hal yang langka. Kebanyakan guru SD masih lulusan SPG/PGA.
Bahkan, saat aku menjadi guru tahun 2010 pun, masih ku temukan guru yang
berpendidikan SPG/PGA. Berkah dibaliknya adalah saat pemerintah memulai program
sertifikasi, ayah termasuk yang pertama mendapatkan hak sertifikasi melalui
jalur portofolio. Waktu itu, aku masih kuliah. It’s like blessing in disguise.
Kecintaannya pada buku, dapat dilihat dari koleksi buku yang ada di rumah kami. Ayah juga selalu menyempatkan membaca di waktu luangnya. Ayah sering berlangganan majalah dan koran. Buku koleksinya beragam, dari masalah pendidikan, kesehatan, agama, sampai masalah mistis. Ini juga yang diturunkannya padaku, selain wajahku yang kata orang sangat mirip dengannya.
Sepertinya, aku pun menyukai tantangan. Tantangan
untuk mencoba hal baru, salah satunya adalah teknologi. Teknologi komunikasi
dan informatika seperti handphone dan computer. Ayah selalu berpikiran lebih
maju. Meskipun dia tidak memiliki banyak kenalan untuk dihubungi melalui HP,
dia membeli HP. Padahal, saat itu sinyal pun masih langka. Ayah harus memasang antenna
untuk mendapatkan sinyal. Haha..kalau diingat lucu sekali.
Ketika aku lulus dari MAN dan melanjutkan kuliah, ayah
mengambil keputusan yang cukup berani, yakni membeli komputer dengan cara
kredit ke guruku MAN. Harganya sekitar 4 juta. Bagi keluarga kami, uang
itu cukup banyak. Bisa untuk membayar semesteranku beberapa kali. Meskipun
sekarang, uang 4 juta tidak seberapa. Sesudah membeli komputer tentunya ayah
belajar menggunakannya. Usianya sudah tidak muda lagi saat mulai menyentuh komputer.
Dengan rajin dicatatnya fungsi-fungsi masing-masing tombol di komputer, cara
menyimpan dan membuka dokumen, sampai cara mematikan komputer. Meskipun seiring
berjalannya waktu, banyaknya tuntutan guru dan ulah anak-anaknya, ayah tak lagi
sempat belajar.
Yeah.. that’s my father and how he liked learning, and
challenging thing so much. I wish you could hear me saying I love you, there.
Thanks for this gene, Pak. I did wish to find someone as good as you.
Comments
Post a Comment